Menampilkan postingan dari Januari, 2012

Mella Jaarsma, Seniman dari Belanda untuk Indonesia



Dari Negeri Belanda terbang ke Indonesia demi bayangan. Itulah yang dilakukan Mella Jaarsma, wanita kelahiran Emmeloord, Belanda, 9 Oktober 1960. Ia telah tersihir oleh pesona bayangan di negeri yang pernah dijajah bangsanya.

Peraih penghargaan The John D. Rockefeller 3rd Award, New York, USA 2006 ini, mengeksplorasi bayangan sebagai sumber ide karya-karyanya. Adapun karya-karya Jaarsma ada dalam berbagai bentuk yaitu: lukisan, gambar, etsa, patung, instalasi dan performance art.

Bagi Jaarsma, bayangan merupakan refleksi dari hal-hal yang bersifat material. Dan semua itu terjadi karena ada cahaya. Cahaya sendiri adalah immaterial. Jadi bayangan adalah batas antara yang material dan immaterial.

Ketertarikan Jaarsma pada bayangan, sebenarnya sudah ada sejak di Negeri Kincir. Tapi di tanah kelahirannya itu, ia bekerja dengan bayangan hanya pada musim panas, yaitu saat matahari bersinar terang.

Di Indonesia, pada mulanya Jaarsma tertarik pada bayangan sehari-hari yang mengelilingi orang-orang. Misalnya bayangan dari lampu minyak (teplok) yang diciptakan oleh orang yang makan di balik tirai kain di warung dan bayangan dari wayang kulit. Bayangan muncul tatkala di sana ada cahaya di kegelapan.

Kemudian kondisi alamnya, dimana matahari bersinar sepanjang tahun dan bayangan ada dimana-mana. Pergeseran matahari dari pagi ke siang memberikan dimensi dan bentuk bayangan yang berbeda. Terang dan redupnya sinar juga sangat mempengaruhi bayangan diri yang jatuh ke tanah. Jadi, di Indonesia Jaarsma mendapat pengalaman baru dengan bayangan.

Mella Jaarsma tinggal di Indonesia Sejak Tahun 1984. Ia  pernah belajar seni rupa di Akademie Minerva, Groningen, Institut kesenian Jakarta dan Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sejak tahun 1987, Jaarsma tinggal di Yogyakarta. Kemudian tahun 1988, bersama suaminya, Nindityo Adipurnomo, mendirikan Rumah Seni Cemeti.

Ketertarikan Jaarsma pada bayangan, tidak sebatas pada wujud bayangan secara fisik, tapi lebih mendalam. Ia mempelajari filosofi wayang terutama yang berhubungan dengan bayangan. Ternyata bayangan merupakan intermedia untuk orang yang hidup dan yang sudah mati atau antara dewa dan rakyat, media transformasi etika dan kebenaran antara yang ada di atas dan rakyat yang ada di bawah.

Dalam perkembangannya Jaarsma tidak hanya tertarik pada bayangan. Gagasan-gagasan (ide) dalam berkarya, juga berasal dari segi-segi yang sering diambil sebagai segi yang tak terhindarkan pada keberadaan manusia: kelahiran, kehidupan, dan kematian. Jaarsma dapat mengangkat keluar segi-segi ini dari kenyataan atau kejelasan itu yang senyata-nyatanya.

Dengan ditambah individualitasnya, wawasannya dan nilainya, dan dengan memperlakukan segi-segi itu dengan sebuah pendekatan yang hampir fisik sifatnya. Segi-segi kehidupan yang sering kita anggap benar dan pasti – kelahiran, kehidupan, kematian – menjadi subyek yang bebas di dalam  kesenian Jaarsma.

Permukaan karya-karya Jaarsma tak pernah dibatasi oleh imaji-imaji (citra) yang dipertimbangkan sebelumnya. Namun, ada semacam ikatan yang kuat yang mengumpulkan keragaman itu. Di bawah permukaannya ada sebuah spiritualitas yang tak terbatas. Tak terbatas karena di situ tak ada konsep falsafah, teoritis atau religius yang khas, yang bercokol dalam karya-karyanya.

Lewat karya-karyanya, Jaarsma ingin membagikan pengalaman pribadi. Tidak berarti bahwa ia ingin menggurui penonton, tetapi ia mencoba mengajak penonton berfikir tentang pengalaman itu, tentang kelahiran, kehidupan dan kematian. Dengan berfikir maka akan semakin sadar akan arti kehidupan.

Berhubungan dengan hal di atas, permasalahan yang Jaarsma angkat, tidak selalu ditampilkan secara eksplisit. Ia lebih suka ada ruang bagi penonton agar mereka bisa menginterpretasikan karyanya dengan lebih luas. Biar permasalahan dapat dicerna sesuai pengalaman pribadi.

Mella Jaarsma memang gemar berkarya dengan hal-hal yang kontras merenung akan kematian sekaligus pula menyatakan kehidupan. Dan jika ditanya, kenapa tertarik dengan hal yang kontras? Maka jawabnya, dalam kehidupan kita semakin memahami makna kebaikan karena ada ketidakbaikan, kita merasakan warna hijau karena disampingnya ada warna merah. Kita bisa menyadari kehidupan kalau kita tahu akan ada kematian. (Yunisa)

Sumber: 
Shadow-Death-Birth (Katalog Pameran), 1994
Think it or not (Katalog Pameran), 1997-->

Arahmaiani, Pelukis yang Pernah Terlunta-lunta


Dihalalkan darahnya, dipecat dari kampus, disekap tentara, diusir dari sebuah negara, dan dipenjara—adalah sederet pengalaman Arahmaiani. Perupa kelahiran Bandung 1961 ini membuktikan perbedaan gender bukan menjadi halangan untuk berkarya.

Nama Arahmaiani berasal sebuah kata dari khazanah Islam yang harfiahnya bermakna “berkah ganda”. Orang biasa memanggilnya dengan Lani saja. Dalam kehidupan sehari-harinya, ia adalah sosok perempuan yang sederhana. Walaupun demikian ia dikenal sebagai perupa tangguh dan penulis kritis. Ia termasuk pelopor yang memperkenalkan seni rupa pertunjukan sebagai bagian dari seni rupa kontemporer Indonesia. Arahmaiani juga sering ditengarai sebagai aktivis sosial.

Dasar motivasi berkesenian Arahmaiani bukan menciptakan keindahan, melainkan menemukan jati diri. Baginya estetika hanya kendaraan yang membawanya pada sesuatu. Orientasinya bukan pada perwujudan fisik, tapi pada spiritnya yang datang dan pergi lewat intuisi sehingga proses dan pengalaman batin menjadi utama. Hal-hal seperti penataan bentuk, komposisi, garis, dan warna tidak ditujukan pada pasar atau tren, tapi semata-mata melayani keyakinan dan falsafah hidup.

Arahmaiani meniti pendidikan seni formal di FSRD Institut Teknologi Bandung kemudian melanjutkan di Paddington Art School, Sydney, Australia dan Academy for Fine Art, Enschede, Netherlands. Dalam berkesenian, ia selalu menggeluti permasalahan hubungan Barat dan Timur (Muslim dan Non-muslim) dan isu-isu kesetaraan gender. Perempuan, Muslim(ah), dan provokator adalah label yang kadung melekat pada diri Arahmaiani.

Karya Arahmaiani memikat perhatian publik dengan karya-karya seni rupa yang melakukan glorifikasi terhadap kekuatan esensial perempuan. Kebanyakan bermaksud menyerang pandangan dikotomis dan hierarkis oposisi biner tentang tubuh. Dalam karya performance bertajuk Dayang Sumbi: Menolak Status Quo (1999). Tokoh perempuan legenda Sunda itu menjadi ikon dan majas subordinasitas perempuan.

Aktivitas keseniannya adalah sederetan risiko yang menyeretnya berhadapan dengan birokrat, tentara, polisi, petugas imigrasi, dan kelompok-kelompok masyarakat penjaga moral di suatu negara. Ia telah merasakan pelbagai pengalaman menarik. Pada 1983 ia dikeluarkan dari ITB setelah sebelumnya disekap selama sebulan oleh “Intel Melayu”, karena mengejek peralatan militer, tank, dan senjata, dengan kapur tulis di aspal jalanan Kota Bandung.

Pada 1994 sepotong lukisan Lani bertajuk Lingga Yoni membuat naik pitam sekelompok Islam garis keras hingga menghalalkan darahnya. Ia dituduh menghina Islam dengan lukisan penis dan vagina yang diimbuhi latar deretan huruf Arab. Pada 2002 beberapa bulan setelah peristiwa 11 September, ia diusir paksa keluar dari Negeri Paman Sam yang sangat cemas dengan apa yang disebut teror Islam.

Sederet pengalaman yang menjadi risiko itu tidak melemahkan energi kreatif Arahmaiani. Ia justru mematangkan dirinya sebagai perupa yang memiliki semacam “Aura darma bahadura” (Aura of heroic commitment) pada praktik seni rupa yang sepi pamrih dan berpihak kepada khalayak luas.

Menurut Dr. David Teh, Arahmaiani menawarkan praktek lintas-media yang menggugat kenyataan politik masyarakat seni dan pemerhati seni. Karya Arahmaiani digambarkan sebagai sesuatu yang kaya akan puisi dan peluang, dalam perbenturan sugesti bahasa dan penanda budaya. Tak heran bila respons terhadap karyanya beragam.

Heidi Arbuckle menyorot dimensi gender dan agama dalam karya Arahmaiani. ia menggarisbawahi tantangan dalam menghadapi stigmatisasi Islam setelah peristiwa 11 September. Sementara Lola Lenzi mengatakan seni Arahmaiani dengan jitu mengaburkan batasan-batasan antara kami dan mereka. Karyanya memberdayakan penonton agar mampu memilih.

Wang Zineng berpendapat lain. Dalam menyimak karya-karya Arahmaiani, ia melihat bahwa sang seniman beranjak dari dan kembali pada dirinya. Ini menyimpulkan bahwa “Melalui subyektivitas individulah dunia Arahmaiani dapat dipahami.”

Dari pelbagai teori yang dilontarkan tentang Arahmaiani beserta gugusan akbar karyanya belum tentu ia sependapat, tapi ia tetap terbuka dari segala interpretasi. Ia mengundang penontonnya untuk terjun lebih dalam, melampaui selubung permukaan yang gamblang dan memikirkannya sendiri. (Yunisa)

Sumber: Slow Down Brow( Katalog Pameran Arahmaiani), 2008
-->